Ibu  menatap lekat koran yang  dipegangnya. Aku yakin tidak sedang dibacanya.  Aku mendekat untuk memastikan  apa yang sedang membuat matanya tak bisa lepas dari koordinat yang kini ditujunya, ibu  bahkan  tak sadar akan kehadiranku di sampingnya. Yakinku, lamunannya sedang  menapaki kisah masa lalu, entah di masa mana. Saat melihat bola matanya, keyakinanku bertambah  satu lagi. Ibu pasti tak  sadar dengan kehadiranku karena kabut  yang menggumpal di matanya, entah kabut dari mana.

Kusentuh bahunya. Dia tak tersentak. Hanya tangannya – yang   memegang koran – yang  terjaga dari sentuhanku. Koran itu lepas dari  tangannya. Terjatuh di pangkuannya, di atas sebuah kursi tua yang  sering dia pakai untuk  upacara minum tehnya, pagi dan sore. Kabut di matanya masih menggumpal, padahal pagi telah beranjak.

Kuraih koran yang tadi  terlepas dari genggamannya. Sekadar untuk mencari muara air mata yang  tadi masih berupa kabut, dan kini telah menetas menjadi tetesan manik-manik bening. Dia menghela napas. Seolah melepas  beban yang  baru saja  memberati bahunya. Meski bahu itu  sudah agak membungkuk, baru kali ini kulihat mengecil karena beban. Tak ada senyum pagi ini. Berganti air mata. Sekali lagi dia mencoba menghempas  napas. Berat. Seberat  merentas  setapak di antara belantara.

Aku tak menemukan apapun – yang  bisa membuatnya  menangis – di  koran itu, selain berita kematian  seorang  pejuang veteran. Itu pun bagiku bukan hal yang  menyedihkan, tapi lucu.Apa nggak lucu, jika pejuang  yang meninggal itu, memiliki 29 istri dan ratusan anak dan cucu?

Dua puluh sembilan?  Ini jumlah istri atau suhu badannya sebelum meninggal? Pikiranku masih ngawur. Tentu saja aku tak boleh tertawa di depan ibu yang  tatapannya masih memperlihatkan cuaca mendung.

“Kamu mau dengar Ibu bercerita?”

Aku langsung duduk di  samping kursi tuanya. Ibu punya banyak utang cerita   padaku. Cerita tentang siapa papaku. Tentang  foto seorang lelaki tegap yang kudapat di bawah kasur tempat tidurnya.

Aku telah lama menagih, tapi yang kudapat adalah bayaran air mata. Aku bahkan tahu bahwa dia – yang  selama  ini kupanggil ibu, adalah seorang nenek untukku – setelah aku duduk di bangku SLTP. Ya, dia adalah nenekku. Dididik untuk memanggil ibu padanya agar aku tak pernah mencari mamaku. Tapi  bagaimana pun tulusnya  ibu mengasihiku, aku selalu curiga bahwa ada seorang yang punya cinta lebih tulus untukku,  yakni mamaku! Kecurigaanku semakin nyata saat aku  mulai bisa berpikir, bahwa bagaimana  mungkin wanita yang sudah sekeriput ibu, bisa punya anak yang masih seumuran denganku. Apalagi dengan wajahku yang sangat jelas ada blasteran asingnya.

Ibu pun menceritakan segalanya. Tentang mamaku yang menikah dengan  orang asing. Cerita duka itu berawal saat   PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap)  dibangun di kampungku. Sebelum utuh dimiliki pemerintah, perusahaan provider  pembangkit listrik itu berasal dari   Swiss. Mama akhirnya terpikat hati, menjalin kasih,  hingga menikah dengan  salah seorang karyawan provider  yang orang Swiss. Nenek – yang selama ini kupanggil ibu – melarang keras. Tapi jodoh siapa yang bisa menghalangi?

Menurut  ibu,  meskipun  papaku masuk Islam dan berjanji untuk   sehidup semati, pernikahan itu tetap dinilainya sebagai nikah mut’ah.  Setelah kontraknya dengan PLTGU habis, papa pasti akan  pulang ke negaranya.  Derita semakin nyata, saat kontrak dengan pemerintah saja belum habis,  papa sudah sering pulang ke  Swiss untuk   menjenguk anak dan istrinya. Ya, mama istri kedua. Mungkin istri simpanan. Lebih menyakitkan lagi, mama adalah istri dari pernikahan yang kesannya nikah mut’ah.

 Cerita tentang mama ini, kudapat saat aku masih SLTP.  Aku tak pernah bertanya lagi, karena tak tahan melihat  ibu menangis setiap aku mengingatkan  dia pada anak tunggalnya. Mama meninggal, tak cukup setahun  setelah papa pulang ke Swiss. Aku yakin, mama meninggal karena menanggung malu.   Risiko  terberat yang harus diterima  bila tinggal di kampung adalah gosip. Semua orang saling mengenal, jadi siapa pun bisa jadi bahan gunjingan.

Semoga kali ini, ibu bercerita tentang papa.

Setelah  bertahun-tahun aku menunggu, ibu tak punya satu pun bait kisah tentang papa. Kecuali  selembar foto milik papa yang baru kulihat kali ini.

“Kenapa  Ibu  nangis?”

Ibu meraih koran yang tadi kuletakkan di atas meja.

“Dia kakekmu, Dilla!”

Tatapanku yang tadi  menancap di  matanya, langsung beralih ke koran, dan memperhatikan seksama foto pejuang veteran  yang  tadi membuat hatiku tergelitik geli. Entah  kenapa,  sedikit pun aku tak merasa kehilangan.  Wajah lelaki tegap yang  fotonya selama ini kudapat  di bawah kasur tempat tidur ibu, dan kini  terpajang di koran – telah  renta dan keriput.

Pagi sepi yang tadi sendu, kini disiuli kicau burung.  Dibiasi sinar mentari yang menyusup lewat jendela. Tapi kabut di mata ibu tak  jua beranjak. Bahkan diiringi sedu. Beribu kalimat sajak dalam bait-bait sedih, telah mengajakku untuk ikut menanggung luka yang selama  ini dipikulnya sendiri.

“Aku menikah dengan kakekmu tanpa didasari cinta. Bukan  karena yakin, kelak cinta akan hadir sendirinya. Tapi karena aku tahu,  aku akan menjadi  istri – yang entah istri keberapa. Sekaligus tahu bahwa aku akan  nikah mut’ah. Setelah  masa gerilyanya habis, dia akan pergi meninggalkan kampung, lalu menikah lagi di kampung lain.”

Mendengar ceritanya yang  diiringi sesak tangis, seolah beban itu semakin menghimpit.

“Siapa yang memaksa Ibu untuk menikah dengannya?”

“Semua memaksa. Termasuk  takdir! Jangan pikir, semua yang kamu kenal sebagai pahlawan selama ini adalah hebat. Aku lebih menjagokan tokoh-tokoh super hero yang hidup dalam cerita komik – Superman, Batman, atau siapapun itu – daripada kakekmu, dan mungkin juga orang-orang yang telah terlanjur disebut pahlawan hingga saat ini.

“Ayahku ditembak di depan mataku, setelah sebulan lamaran  kakekmu  tak kutanggapi, bahkan kutolak. Penghulu diseret paksa ke rumah, lalu dengan santainya mengikrarkan ijab kabul untukku. Semua terdiam kala itu, bukan karena khidmat atau sakralnya pernikahan kami, tapi karena  sosok hijau  loreng saat itu memang seperti binatang buas yang mengharuskan kita diam jika kita tak ingin diterkam.”

Bisa kutebak,  kesedihan  ibu  yang berlebih,  tak lebih karena jejak  masa lalunya yang tergelar kembali. Mana mungkin ibu menangisi kepergian orang yang tak dicintainya. Terlebih, orang yang telah membunuh ayahnya. Ya, tak kudapatkan rasa kehilangan di tatapan ibu. Inilah mengapa ibu selalu mengajariku untuk tidak hidup berlebih. Apapun itu jika berlebih, termasuk kakek yang memiliki istri banyak, akan berdampak buruk. Jika satu sudah cukup, dua bisa jadi bencana, mungkin itu ungkapan yang tepat!

Menurut ibu, kakek bahkan tak mengenal semua istrinya lagi, apalagi anak dan cucunya. Jalinan kasih itu memang tak pernah ada.

“Jika kamu bersedia, kuharap kamu menggantikan ibu di upacara pemakaman kakekmu.”

Aku tersentak.  Aku yang tadi duduk  melantai di samping kursinya, kini beringsut ke depannya. Kuperjelas tatapanku ke bola matanya. Bukankah tadi kutangkap tak ada sinar kehilangan dari tatapan itu. Tapi mengapa kini ibu menginginkan aku hadir di upacara  pemakaman  lelaki yang telah  membuatnya  merana itu?

“Dia bukan hanya bagian dari masa laluku, tapi juga masa lalumu. Dia kakekmu! Jadikan ini pelajaran, agar buah berikutnya tak lagi pahit, dan tak jatuh lagi tepat di bawahnya.”

Buah yang jatuh,  tak akan jauh dari pohonnya? Mungkin itu maksud kalimat ibu. Dia  yang  kesannya nikah mut’ah  dengan kakek, harus menjatuhkan ‘warisan’ itu pada mamaku yang  juga menikah dengan  papaku yang bule, hingga akhirnya harus ditinggalkan. Ibu tak ingin itu terjadi padaku.

***

Jalanan macet. Puluhan  kendaraan parkir di  parkiran taman pemakaman. Karangan bunga berjejer. Ratusan massa  tertumpah di sekitar  pemakaman, satu di antaranya adalah aku. Aku yakin, masih ada di antara sekian banyak orang  di sini yang bernasib sepertiku. Datang bukan hanya sebagai warga yang ingin melihat orang yang selama ini dikenalnya sebagai pahlawan, tapi juga datang sebagai cucu yang tak dikenal.

Beruntung aku dapat tempat di barisan paling depan yang berpegang di pagar, hingga bisa melihat langsung upacara pemakaman. Tentu saja, sebagai orang yang tak dikenal, meski itu aku cucunya, aku  tak boleh masuk hingga depan liang lahat.

Tembakan salvo mengiringi kepergiannya. Aku tersentak, bukan karena desingan peluru itu, tapi karena aku sibuk menetralisir laju adrenalinku yang semakin terpacu, saat suara tembakan itu terdengar.  Tersentak mendengar bunyi tembakan salvo, membuatku yakin jika  orang-orang di sekitarku menertawai. Aku menyapu pandang ke sekeliling. Hanya satu yang mendapatkanku kaget barusan. Semua  orang larut dalam upacara pemakaman.

Aku sempat berpikir, jika hanya dia yang melihat kekagetanku barusan, itu berarti, dia memperhatikanku dari tadi. Aku mengambil langkah menghindar. Tapi kurasakan matanya tetap menancap di punggungku saat  aku berusaha untuk bersembunyi  dari kerumunan orang yang  mulai beranjak meninggalkan pemakaman.

Ya, Tuhan! Mengapa aku harus ada di sini? Aku tak mempertanyakan hal ini, jika saja aku tak menemukan sosok lelaki yang ‘menakutkan’ itu.  Sejak tahu papaku  orang Swiss,  aku selalu didera perasaan aneh setiap berpapasan  dengan orang bule.

Aku takut. Ingin berlari. Menjauh. Takut jika buah  benar-benar harus jatuh  tak jauh dari batangnya. Jalinan benang merah yang sering mempertemukan  seseorang dengan jodohnya, itu karena dia mau memintal benang. Aku tak ingin benang itu berpangkal padaku, lalu berujung pada  lelaki seperti kakek, apalagi seperti papaku. Satu-satunya jalan, aku harus menghindar. Bukan tak mungkin, hari ini aku hanya  bertabrakan mata dengannya, besok akan  datang baik-baik membawa cinta atau entah apalah yang bisa membuatku terpikat padanya.

Jika memang pertemuanku dengannya hari ini, adalah awal dari sebuah jalinan, harus kuputus sekarang juga.

“Selamat siang,”

Salam itu kudengar saat  aku berhasil merapatkan duduk di atas angkot. Aku baru ingin membalasnya saat  pandanganku ke erah belakang – di  antara kerumunan orang – tak lagi kudapatkan sosok bule yang tadi bertabrakan pandang denganku.

Bibirku terkatup rapat sebelum kubalas salamnya.  Lelaki yang dari tadi kuhindari, ternyata  yang memberi salam barusan.

“Namaku David! Ikut pertukaran mahasiswa di Ilmu Komunikasi Unhas,”

Aku mengangguk gugup. Lalu memilih tunduk. Aku tak ingin  jalinan benang itu memanjang. Cukup sampai di sini. Tak usah kujawab apapun pertanyaannya.

“Aku suka dengan Indonoesia. Aku sudah bisa bahasa Indonesia, jauh sebelum aku ke sini.”

Harusnya aku kaget mendengar kalimatnya kali ini. Bukankah itu hal yang luar biasa? Tapi aku ingin berubah jadi gas, lalu menguap begitu saja di depannya. Gas? Akhhh…mengapa kata itu hadir di benakku. Mengingatkanku pada PLTGU, pada mamaku, juga papaku. Aku menggeleng cepat. Dalam hati, aku memaki angkot yang berjalan perlahan karena jalanan masih macet akibat upacara pemakaman barusan.

“Kamu nggak mau tahu, mengapa aku suka dengan Indonesia?”

Aku beku. Seandainya beku itu bukan hiperbolik, tapi aku benar-benar beku seperti es, aku akan meleleh,  lalu mengalir jauh darinya. Karena untuk turun dari angkot, kupikir dia akan mengikutiku lagi.

“Papaku pernah tinggal di Indonesia. Aku orang Swiss!” 

Aku seperti  mendengar suara tembakan salvo dari puluhan moncong senjata. Kalimat barusan yang menarik picu senjata  itu dan  kini memekakkan telingaku.

“Papaku menikah dengan putri pahlawan yang meninggal barusan. Aku  ikut upacara pemakaman tadi, siapa tahu aku bisa menemukan kembali jejak masa lalu papaku.”  

Aku mengangkat kepala sejenak. Baru kusadari, degup jantungku yang tak karuan dari tadi, bukan semata karena aku selalu takut dengan orang bule. Tapi, sinar mata dari foto papa, ada di mata David. Aku seolah menemukan papa yang  kisah tentangnya selama ini hanyalah  sebait. David datang menyempurnakan sosok papa yang selama ini hanya bisa kulukis  dalam angan.

Ketakutan itu hilang kini. Karena jalinan benang merah yang kutakutkan terjalin dengan David yang baru saja kukenal, ternyata bukanlah jalinan jodoh. Tapi jalinan bait-bait  luka dari sajak yang  papa ciptakan.

 “Siapa tahu kamu bisa membantuku,”

Aku belum juga bersuara. Tidak akan bersuara. Aku  tak ingin luka itu ditemukan oleh siapa pun, termasuk David, ataupun papa. Mama telah membawa luka itu  pergi. Adapun yang tersisa untukku, biar kujadikan pelajaran. Meski itu menyiksa. Biarkan jalinan benang itu tetap terulur, antara aku dan David. Biarkan terulur panjang tanpa harus tahu akan berujung, bahkan terputus di mana. Aku tak ingin membawa David pulang, lalu menambah panjang bait-bait  sajak yang selama ini melukai ibu.

“Kiri, Pak!” ucapku saat suaraku menemukan celah untuk keluar menembus udara.

Aku turun dari angkot sebelum sampai di tujuan. Aku tak ingin David tahu alamatku.

“Selamat tinggal, David!” batinku saat masih sempat bertabrakan pandang dengannya, sebelum berbalik dari sosoknya  yang masih terbengong di angkot.

***

Kudapatkan ibu duduk kembali di kursi tuanya sore ini. Tak ada teh yang menemani. Tatapannya masih mendung. Giliranku untuk bercerita. Cerita tentang pertemuanku dengan David – yang bukannya menghujani ladang rinduku yang gersang  pada papa – tapi  membuatku  malah semakin rindu. Aku menyesal tak membawa David pulang ke rumah untuk menemui ibu. Bagaimana pun dia anak papa juga.

“Jangan pernah temui dia! Cerita ibu selama ini tentang proses pernikahan mama dan papamu masih banyak menyembunyikan rahasia. Itu agar kamu nggak  tersiksa jika tahu segalanya. Yang sebenarnya….”

Mataku terbelalak. Ada jalinan yang lebih melukakan dari yang selama ini ibu ceritakan padaku. Mama tunduk untuk menikah dengan papa, setelah papa dengan sengatan lebahnya memaksa bunga yang dikiaskan untuk mama  terjatuh ke tanah. Mama diperkosa! Aku anak haram?

Jalinan benang merah  yang mempertemukan mama dan papa bukan hanya melukakan. Juga  penuh noda!***

*cerpen ini pernah dimuat di majalah Annida