Ranu nama lelaki itu. Beberapa bulan yang lalu mengontrak rumah paling ujung di Blok BG. Awalnya tak ada yang aneh dengan lelaki itu. Datang sendiri meskipun mengaku telah beristri. Beberapa barang elektronik diangkatnya sendiri ke rumah kontrakannya. Sesekali melempar senyum ramah dan menunduk sopan pada tetangga yang berdiri menyaksikan kedatangannya. Sekali lagi, tak ada yang aneh. Meski kisah selanjutnya, Pak Ranu harus memerankan peran yang sangat aneh sebagai lelaki. Setiap Minggu pagi dialah yang akan datang berkerumun bersama ibu-ibu untuk belanja di tukang sayur keliling.
“Istrinya mana, Pak?” Bu Hilda mencoba mengulik.
Pak Ranu yang sedang memilih tomat sayur yang masih hijau, mengawali jawabannya dengan senyum, lalu meneguk ludah. Jawaban yang akan diucapkannya, sepertinya sangatlah berat. Satu per satu wajah ibu-ibu yang sedang mengerumuni Daeng Sija, si tukang sayur, ditatapnya sekilas.
“Masih tidur, Bu!”
“Lagi sakit?”
Pak Ranu hanya menggeleng sambil berusaha tersenyum lalu pergi setelah membayar sayuran yang dibelinya. Belum juga ibu-ibu yang mengelilingi Daeng Sija mengangkat nama Pak Ranu untuk digosipkan sebagai suami takut istri, tiba-tiba suara aneh terdengar dari dalam rumahnya.
“Kamu cerita apa dengan ibu-ibu yang belanja sayur itu?”
Suara berat seorang perempuan terdengar dari dalam rumah.
“Me…me…mereka menanyakan kamu?” Pak Ranu gagap.
“Lalu kamu bilang saya masih tidur kan? Biar mereka mencap saya sebagai istri pemalas? Begitu?”
Semakin ke ujung, suara istrinya semakin melengking. Sesekali terdengar suara pukulan. Suara benda jatuh lalu pecah. Gaduh. Ibu-ibu yang sedang mengerumuni Daeng Sija, saling tatap. Ada yang menatap prihatin. Ada juga yang malah menganggap adegan yang baru saja didengarnya adalah adegan hot untuk digosipkan.
Bu Hilda yang berdampingan rumah dengan Pak Ranu sangat prihatin dengan tetangga barunya itu. Saban malam suara istrinya terdengar memarahi bahkan mencaci suaminya. Jika itu terjadi, suara Pak Ranu akan hilang. Bu Hilda terkadang membayangkan, setiap istri Pak Ranu marah, Pak Ranu akan duduk ketakutan seperti anak kecil yang dikasari dan tak punya daya untuk melawan.
“Kenapa bengong? Cepat masak sayur yang kamu beli itu! Atau kamu mau saya makan labu lalapan?”
Ibu-ibu yang berkerumun belanja sayur, memilih bubar. Mereka jatuh kasihan pada Pak Ranu. Biasanya setiap memarahi Pak Ranu, istrinya tak akan berhenti sebelum orang-orang yang mendengarnya bubar.
***
Kehadiran keluarga Pak Ranu yang awalnya biasa-biasa saja, kini mulai menampakkan keanehan. Semua warga, terutama ibu-ibu, mengincar berita dan cerita tentang Pak Ranu. Bu Hilda yang bersebelahan rumah dengannya selalu menjadi narasumber. Sebenarnya, dari kedalaman hati Bu Hilda, dia tak ingin membeberkan semua yang didengarkannya setiap Pak Ranu dimarahi istrinya. Tapi desakan ibu-ibu, membuat Bu Hilda dengan berat hati harus menceritakan semua yang dia ketahui tentang Pak Ranu.
Hal yang paling aneh dalam keluarga Pak Ranu adalah tak seorang pun yang pernah berpapasan langsung dengan istrinya. Selama ini, orang-orang hanya membayangkan sosoknya yang bersorot mata tajam seperti halnya pemeran antagonis di sinetron-sinetron. Bu Hilda pernah melihatnya tapi hanya selintas. Malam itu Bu Hilda dan suaminya pulang dari mal, istri Pak Ranu melintas di balkon lantai dua rumah kontrakannya. Hanya selintas. Mengenakan daster batik dengan rambut terurai hingga pertengahan punggungnya.
Bahkan ketika Bu Hilda berkunjung untuk bertemu dan mengajaknya bergabung arisan Blok BG, hanya Pak Ranu yang keluar menemuinya. Menurut Pak Ranu, istrinya lagi keluar sejak sore. Meski tak berhasil bertemu dengan istri Pak Ranu, Bu Hilda tidak kecewa. Paling tidak dia bisa melihat foto istri Pak Ranu yang tergantung di ruang tamu. Menurut penilaian Bu Hilda, istri Pak Ranu sangat cantik.
“Itu foto istri saya!” ucap Pak Ranu saat mendapati tatapan Bu Hilda berlama-lama di foto istrinya.
Saat Bu Hilda pulang, baru saja dia merapatkan pagar Pak Ranu, tiba-tiba terdengar suara istri Pak Ranu dari dalam rumah.
“Ooohh begitu ya, kamu malu memperkenalkan saya pada tetangga…!”
“Bukan begitu, Ma! Bukan…!”
“Atau kamu ingin berdua-duaan dengan tetangga sebelah ya?”
“Ma, dia itu mau ngajak arisan. Ingat, kita baru ngontrak, saya nggak mau Mama ikut-ikutan dengan gaya hidup mereka yang arisan sana-sini.”
“Itu hanya alasan kan? Kamu memang nggak mau memperkenalkan saya pada tetangga.” Setengah membentak.
“Ma, jangan keras-keras, Ma! Malu didengar tetangga!”
Bu Hilda sempat mematung di depan pagar Pak Ranu. Sangat kontras. Pak Ranu dengan sopannya memanggil ‘Mama’, sementara istrinya tak segan-segan memanggil dengan panggilan ‘kamu’. Bu Hilda masih ingin menguping, tapi lagi-lagi dia harus pergi saat mengingat kelainan istri Pak Ranu yang hanya akan berhenti memarahi suaminya bila merasa tak ada lagi tetangga yang mendengarkannya. Dan benar saja, begitu Bu Hilda pergi. Amarah itu mereda.
***
Minggu pagi. Tak seperti biasanya, Pak Ranu tak hadir di antara ibu-ibu yang sedang belanja sayur. Daeng Sija kebetulan memarkir gerobak sayurnya tepat di depan rumah Pak Ranu. Ibu-ibu yang sedang asyik memilih-milih sayur, sesekali melirik ke arah pintu rumah Pak Ranu, berharap lelaki nestapa itu keluar.
“Mungkin lagi keluar,” Bu Hilda memulai gosip.
“Tapi mobilnya ada tuh,”
“Yuuuur….Sayyuuuuurrrr….!” teriak Daeng Sija yang juga berharap Pak Ranu cepat keluar.
Hingga ‘pasar sayur’ usai, Pak Ranu tetap saja tak hadir. Bu Hilda berkesimpulan jika Pak Ranu tak mau lagi belanja di tukang sayur keliling, karena setiap habis belanja, pasti dimarahi istrinya. Bu Hilda terlalu prihatin dengan lelaki malang itu. Dia pernah bicara kepada suaminya agar mendekati Pak Ranu. Mengajaknya bicara, atau lebih tepatnya menyarankan Pak Ranu agar jangan terlalu penurut di depan istri. Tapi respon suaminya sangat dingin. Tak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Apalagi, Pak Ranu hanya keluar rumah kalau mau ke kantor. Tak mungkin bertamu ke rumahnya untuk membicarakan urusan rumah tangga. Bisa-bisa istrinya berubah menjadi drakula setelah selama ini berwujud macan betina.
***
Di antara keributan-keributan yang selama ini diperdengarkan Pak Ranu dan istrinya, inilah keributan yang paling parah. Bu Hilda dan suaminya sedang bersantai di teras rumah, mendengarkan semuanya.
Awalnya terdengar suara pintu dibanting dari lantai dua. Keras sekali, seolah setelah bantingan itu, daun pintu tak bisa lagi digunakan.
“Buka pintunya, Ranu!”
Terdengar suara gedoran pintu.
“Kamu jangan coba-coba menantang saya!”
Masih suara sang istri.
“Sayalah yang mengangkatmu dari comberan. Memisahkan kamu dengan rumah kardusmu. Kalau bukan saya, kamu masih akan menjadi gelandangan. Memangnya kamu bisa hidup dari kelompok teatermu?” teriaknya lagi.
Terjawablah sudah. Pak Ranu takut dengan istrinya karena dia lelaki miskin yang bermimpi beristrikan orang kaya. Mimpi itu memang terkabul. Sayang, dia bukan hanya diterima sebagai suami, tapi juga sebagai pembantu.
“Ternyata kamu bukan hanya lelaki tak tahu diuntung, tapi ….”
“Tapi apa?”
Kali ini terdengar suara Pak Ranu membentak. Baru kali ini.
Bu Hilda dan suaminya saling tatap. Mereka seperti mendengarkan sandiwara radio dan tokoh protagonis yang didukungnya kini melakukan hal yang selama ini diinginkan pendengarnya.
“Kamu pikir saya nggak bisa melawan? Sudah lama saya bersabar. Menerima semua perlakuanmu, seolah bercerai dengan kamu saya tak bisa lagi hidup? Kamu pikir saya nggak tahu, mengapa kamu mau menerima lamaran seorang pemain teater miskin seperti saya? Karena saat itu kamu lagi hamil. Jangan pikir saya nggak tahu kalau anak yang kamu kandung itu bukan anakku! Harusnya kamulah yang berterima kasih kepadaku, karena saya telah menyembunyikan aibmu.”
“Berhenti bicara, Ranu!” bentak istrinya lagi.
“Tidak! Saya tak akan berhenti bicara sebelum kamu tahu siapa saya. Saya bahkan tahu, siapa ayah bayi yang kamu kandung itu. Ayah bayi itulah yang membayarku agar mau mendekatimu, merayumu, lalu datang melamarmu. Kalau pun kita cerai sekarang dan saya pergi dari rumah ini tanpa membawa apa-apa, saya sudah dapat bayaran dari lelaki bejat yang pernah menghamili dulu. Dan ingat, jangan pernah memanggil saya lagi sebagai lelaki comberan. Karena kamulah yang akan kubuang ke comberan. Sebentar lagi kamu akan berlumuran comberan setelah aibmu kubongkar. Kecuali….”
“Kecuali apa?”
“Kecuali jika kamu mau membayarku! Dua kali lipat dari yang dibayarkan ayah bayi yang kamu kandung itu. Tidak banyak, Ririn! Hanya delapan ratus juta rupiah!”
“Dasar bajingan!” teriak istrinya.
Teriakan tadi mengakhiri segalanya. Tak ada suara Ranu. Juga suara Ririn. Sunyi seketika. Bu Hilda dan suaminya saling tatap. Dia tak bisa memastikan apa yang terjadi di atas lantai dua sana.
***
Pagi-pagi sekali. Seorang lelaki berpostur tegap datang ke rumah Bu Hilda. Dia datang membawa selembar foto yang sama persis dengan foto yang tergantung di ruang tamu rumah kontrakan Pak Ranu. Foto Pak Ranu dengan istrinya.
“Saya dari kepolisian. Ibu mengenal lelaki dalam foto ini?”
Bu Hilda dan suaminya mengangguk heran.
“Dia Pak Ranu. Dia ngontrak di rumah sebelah. Memangnya kenapa, Pak?”
“Bulan lalu, Pak Ranu membunuh istrinya yang lagi hamil.”
“Bulan lalu…?”
Kening Bu Hilda dan suaminya berkerut. Mereka menggeleng serempak. Baru tadi malam mereka mendengarkan Pak Ranu dan istrinya bertengkar hebat. Lelaki berpostur tinggi itu tak peduli dengan kerutan di kening Bu Hilda dan suaminya. Dia menghubungi temannya yang ternyata sudah berjaga-jaga di luar, sekaligus memberi komando untuk menyergap Pak Ranu.
Sepuluh menit kemudian. Pak Ranu sudah berhasil dibawa keluar, tapi sudah dalam kondisi jadi mayat. Menurut polisi yang menyergapnya. Pak Ranu bunuh diri dengan cara menikam ulu hatinya. Diperkirakan, kejadiannya sebelum tengah malam.
“Dia bukan bunuh diri, Pak! Dia mungkin dibunuh istrinya.”
“Benar, Pak! Mereka bertengkar hebat semalam.”
Polisi itu hanya tersenyum. Menganggap Bu Hilda dan suaminya bercanda.
“Tak ada tanda-tanda dibunuh. Apalagi, istrinya telah meninggal sebulan lalu. Dan pembunuhnya adalah Pak Ranu!”
Bu Hilda dan suaminya lagi-lagi bungkam. Lalu siapa perempuan yang selama ini ditemani Pak Ranu bertengkar?
Tak ada yang tahu, kecuali Pak Ranu. Bulan lalu dia membunuh istrinya yang tengah hamil karena selalu dianggap sebagai lelaki comberan. Dia berhasil melarikan diri, tapi sayang dalam pelariannya dia selalu dihantui perasaan berdosa. Dia pun sering menghadirkan sosok istrinya meski itu hanya dalam bentuk suara. Sebagai pemain teater, dia tak kesulitan mengubah suaranya menjadi suara perempuan. Bahkan untuk menjiwai perannya, dia biasa menggunakan daster dan wig, ketika berada dalam rumah. Tak ada yang tahu semua itu. Kecuali Pak Ranu yang di ujung sesalnya itu, memilih bunuh diri. Bu Hilda dan suaminya hanyalah pendengar sandiwara yang gampang ditipu.***