Nenek Mallomo, Lelaki Itu, dan Sepotong Kayu yang Bersandar

Oleh S. Gegge Mappangewa

(Pemenang I Lomba Cerita Rakyat, Kemendikbud 2015)

Adalah Nenek Mallomo, penasihat kerajaan  Sidenreng  ratusan tahun yang lalu, yang kejujuran dan kecerdasannya telah dikenal  di setiap jengkal tanah kerajaan, tersohor hingga ke kerajaan tetangga. Bertanyalah padanya, dia tak butuh tunduk berpikir untuk mencari jawaban.  Ketika dia yang bertanya, bersiaplah  bertanya ulang demi menemukan jawabannya. Dia pernah ditantang  membuat tali dari debu, dan siapapun tak percaya jika lelaki bertubuh kekar itu akan melakukannya dengan sempurna.  Berbekal pelepah daun pisang yang kering, dia mencariknya menjadi tiga bagian, mengepangnya, lalu diangkatnya sarungnya dan kepangan pelepah pisang itu dia pelintir di pahanya hingga membentuk sebuah tali.

“Tapi, La Pagala, tali itu terbuat dari pelepah pisang, bukan dari debu.” ungkap Raja La Patiroi saat menyaksikan pertunjukan itu.

Nenek Mallomo  menunduk takzim di depan Raja La Patiroi, lalu meletakkan tali di tanah, terakhir  memantik korek berbahan bakar kapuk. Tali itu kemudian terbakar dan menyisakan abu pembakaran yang berbentuk tali. Melihat itu, Raja La Patiroi tersenyum puas dan menggelengkan pelan kepalanya tanda salut.

“Saya tak salah pilih mengangkatmu sebagai penasihat kerajaan, La Pagala.”

Lagi-lagi Nenek Mallomo menunduk takzim.

La Pagala adalah nama aslinya.  Nenek Mallomo hanyalah gelar dari kata Mallomo yang berarti memudahkan. Di tangannya semua akan menjadi mudah. Setiap kalimatnya adalah petuah, gerak-geriknya adalah teladan, gagasannya selalu jadi harapan. Pun kata ‘nenek’  adalah gelar untuk orang yang dituakan sekaligus dihormati karena orang-orang Bugis tak mengenal kata kakek. Mereka biasa menyebut nenek laki-laki dan nenek perempuan.    

Kecerdasan dan kejujuran Nenek Mallomo  sebagai penasihat Raja La Patiroi  membawa  Kerajaan Sidenreng sebagai kerajaan dengan hasil bumi yang melimpah tanpa hama, hewan ternak yang  berbiak tanpa penyakit, rakyat sejahtera tanpa kekurangan. Seluruh rakyat dan penghuni istana  bersatu membangun kerajaan dengan modal kerja keras dan kejujuran. Resopa temmangingngi namalomo naletei pammase dewata[1]. Kerja keras tanpa putus asa akan mendatangkan rahmat dari Tuhan.

****

Kayu bitti itu tumbuh di sepetak kebun.  Batang kokohnya lurus menjulang. Setiap angin berembus, tangkainya pun kokoh tak goyah. Hanya ranting yang  melambai, dan daun-daunnya yang ikut menari bersama angin.  Beberapa rantingnya menjalar  hingga ke atas petak sawah di sebelahnya. Bitti memang kuat. Kualitasnya di atas akasia, di bawah ulin. Buahnya pahit hingga tak ada hewan yang berburu untuk memperebutkannya. Saat buahnya yang  ukurannya sedikit lebih besar dibanding telur cecak, telah matang, akan berubah warna menjadi hitam pekat. Buah-buah itu akan ditakdir terempas ke tanah. Jika bukan karena kekuatannya, batang dan tangkainya pun akan ditakdirkan jadi debu setelah menjadi kayu bakar. Saat musim bunga dan lebah mendatanginya, yakinlah bahwa madu yang akan dihasilkannya berasa pahit. Kayu bitti manis karena batangnya yang bisa menjadi tiang rumah panggung, dan tangkainya untuk perabot dan peralatan pertanian. 

Dan siapa nyana, kelak kayu itu akan membuat seluruh  penduduk negeri merana, bahkan seseorang harus dihukum mati karenanya.

****

Lelaki itu meneguk air dari tempat air minumnya. Seperti halnya petani yang lain, tempat  air minumnya terbuat dari buah majah.  Untuk membuat tempat air minum seperti itu, pangkal  buah majah terlebih dahulu dilubangi  sediameter benggol  kemudian isi buahnya dikeluarkan. Majah yang telah bersih dan dilubangi, dikeringkan  hingga benar-benar tak menyisakan bau dari aroma buahnya. Penutupnya, cukuplah dengan meraut kayu sebesar diameter lubang yang  digunakan sebagai mulut tuang. Diameter rautan kayu tersebut haruslah dengan suaian pas, tanpa toleransi, agar air dalam wadah majah tak bisa merembes keluar.  Setengah hari membajak sawah dengan bantuan sepasang kerbaunya, membuat tegukan lelaki itu terdengar keras.   Beberapa tetes air minumnya tumpah dan membasahi baju tipisnya yang telah kuyup oleh keringat.

Hari ini dia membajak sawah dengan garu, setelah tiga hari yang lalu dia menggunakan tenggala untuk membalikkan tanahnya.  Sepasang kerbau yang dia pakai membajak, berdiri di tengah sawah, masih dengan perlengkapan bajak yang  terpasang di pundak. Sepasang kerbau itu setia menunggu tuannya untuk melanjutkan pekerjaan. Hanya ekornya yang liar mengempas ke kanan dan ke kiri  untuk mengusir lalat  dan kutu yang hinggap di tubuhnya.

Lelaki itu kemudian mengambil batang rotan sebesar ibu jari yang dijadikannya pecut, lalu kembali memandu kerbau bajaknya untuk melanjutkan  pekerjaannya. Hingga menjelang siang, tanah bajakannya baru selesai seperempatnya. Dan baru tiga kali keliling setelah istirahat minum tadi, tiba-tiba satu mata garunya patah.

“Sepertinya kalian harus istirahat lebih awal,” ucapnya sambil melepas ajoa[2]. “Kalian makan yang banyak, ya!” lanjutnya sambil mengelus kepala kerbaunya secara bergantian.

Lelaki itu kemudian kembali ke pematang. Bukan untuk beristirahat, tapi untuk membuat mata garu demi mengganti yang telah rusak.  Saat matanya liar mencari pohon di pematang sawah untuk dijadikannya mata garu, tiba-tiba dia melihat potongan tangkai bitti sebesar pergelangan tangan orang dewasa. Kayu itu bersandar di batang bitti yang tumbuh di kebun tetangga.

Lelaki itu menengadah ke atas, tepatnya di ranting-ranting bitti. Tak didapatinya lagi tangkai yang menjulur ke sawahnya. Tangkai yang menjulur ke sawahnya itu telah dipotong oleh pemiliknya dan tangkai itu  kini bersandar di batang bitti. Kebetulan saya butuh kayu untuk mengganti mata garuku yang rusak. Batinnya sambil menjulurkan tangan ke balik pagar kebun dan mengambil kayu itu. Tak cukup sejam, mata garu yang baru telah  siap  dipakai.

 Dan siapa nyana, kelak garu dari bitti itu akan membuat seluruh  penduduk negeri merana, bahkan seseorang harus dihukum mati karenanya.

****

Daun-daun meranggas. Padi yang sebentar lagi akan mengeluarkan bulir, kini menguning kering.  Petak-petak sawah yang dulu subur, kini kerontang dan retak-retak. Sungai kering. Sumur-sumur yang kedalamannya telah ditambah pun, tetap tak menemukan mata air. Di mana-mana tercium bau bangkai dari ternak yang  mati kehausan dan kelaparan. Raja La Patiroi gelisah. Ini yang pertama kalinya terjadi di wilayah kerajaannya.

“La Pagala, kamu tahu mengapa saya memanggilmu?”

Nenek Mallomo mengangguk takzim.  

“Tentang kemarau panjang ini, Puang[3]? Saya pun sedih. Sangat  sedih dengan penderitaan rakyat yang didera kemarau.”

Tatapan mereka beradu dan sebagai penasihat kerajaan, Nenek Mallomo memilih  mengalah dan menerbangkan tatapannya ke penjuru saoraja[4] yang lain. Apalagi tatapan Raja La Patiroi sangat menuntut sebuah solusi dan sebagai orang yang bergelar Mallomo, dia harus bisa menemukan solusi yang  memudahkan. 

Puangku La Patiroi, izinkan saya  menemui rakyat. Jika saya tak bisa menemukan solusi, paling tidak saya bisa tahu penyebab kemarau panjang ini.”

Nenek Mallomo mengakhiri kalimatnya dengan menunduk takzim, melangkah mundur hingga tangga saoraja, lalu berbalik menuruni tangga setinggi lima meter. Dia berjalan, terus berjalan, menyusuri jalan besar yang menuju ke arah Kerajaan Soppeng di ujung selatan. Dalam setiap ayunan langkahnya, dia terus mencari dan mencari solusi agar bisa keluar dari kesulitan ini. Tapi adakah yang bisa memberi solusi untuk keluar dari paceklik karena kemarau panjang?  Nenek Mallomo meyakini bahwa kemarau ini turun dari langit. Diturunkan oleh Puang Seuwae[5], karenanya hanya Dialah yang bisa mengakhirinya.

Raja La Patiroi pernah memujinya saat dia bisa membuat tali dari debu, bahkan sang raja pernah menepuk bahunya pertanda kagum bercampur gembira ketika kerajaan bisa menjadi pemenang  dalam perlombaan lumbung padi, dan itu karena ide cerdas Nenek Mallomo. Saat itu kerajaan tetangga menantang Kerajaan Sidenreng untuk adu jumlah padi. Tanpa berniat menipu ataupun berbuat curang, Nenek Mallomo memerintahkan rakyat untuk mengangkut semua padi yang ada di lumbung, yang ada di loteng-loteng rumah, ataupun yang ada di kolong-kolong rumah. Semua padi dipanggul ke gunung batu Allakkuang. Di sana padi disusun mengikuti bentuk gunung, hingga tampaklah padi itu seperti gunung raksasa.  Utusan kerajaan tetangga tak berani datang untuk menghitung jumlah  padi karena dalam perjalanan dia sudah melihat gunung padi yang menjulang.

Tapi adakah solusi untuk mengatasi kemarau? Lagi-lagi pertanyaan itu hadir  menemani langkahnya. Pertanyaan yang tak berjawab hingga langkahnya tiba di bawah sebatang beringin dan dia memilih istirahat di bawahnya.  Beringin itu tumbuh di pinggir jalan, dekat simpang tiga menuju Kampung Buae    yang masih wilayah kerajaan. Tanah di bawah beringin itu kering kerontang. Matahari menyengat kulit ketika dia memilih istirahat di sana. Dalam doa yang khusyu, berharap hanya pada Puang Seuwae, dia mengentakkan kakinya di tanah kering di bawah beringin, tiba-tiba muncul mata air sebesar lengan, lalu sebesar betis, bahkan sebesar batang pohon beringin di atasnya. Air itu membentuk genangan, lalu serupa kubangan, dan terakhir menjadi sumur.  Orang-orang yang lewat dan menyaksikan ada air yang muncul di bawah beringin, berlari dan berteriak ke arah Nenek  Mallomo.

“Saya menamakan sumur ini, Sumur Citta. Airnya memang tak bisa mengaliri sawah, tapi paling tidak kalian bisa mengambil air minum di sini.”

Rakyat hanya bisa saling tatap. Antara heran dan kagum dengan kehadiran Nenek Mallomo yang bisa membawa mata air.

****

Kemarau belum berakhir, padahal telah berbilang tahun. Rakyat semakin sengsara. Beberapa lumbung padi milik rakyat telah kosong. Tak ada  tanaman yang bisa mengeluarkan pucuk daun apalagi bunga dan buah. Hewan ternak pun sudah hampir punah, beberapa yang tersisa hanya menyisakan tulang berbungkus kulit. Satu-satunya sumber mata air adalah sumur Citta. Hanya air mata yang mengalir di mana-mana. Bahkan beberapa rakyat  meninggal karena keracunan singkong.

Saat kemarau panjang, tanaman yang bertahan hidup hanyalah singkong beracun. Rakyat tetap nekat  mengonsumsinya demi melanjutkan hidup, meski nyawa taruhannya. Singkong beracun yang  dapatkan di hutan-hutan mereka olah dengan memarutnya, mencucinya, lalu mengeringkannya hingga menjadi tepung tapioka.  Jika mencuci atau mengeringkannya tidak sempurna, racun yang ada pada singkong tersebut akan membahayakan. Sebenarnya, tepung singkong serupa itu, setelah dikukus untuk dikonsumsi, rasanya seperti ampas karena sarinya telah bersih bersama racun. Tapi bagaimana pun rasanya, jika itu bisa mengenyangkan, demi bertahan hidup, rakyat tetap akan mengonsumsinya.

“La Pagala, banyak rakyat yang sudah kehabisan persediaan makanan. Pihak kerajaan harus mencari solusi untuk menyelamatkan rakyat dari kelaparan.”

Puangku La Patiroi, tak ada solusi yang tepat kecuali menemukan penyebab kemarau panjang ini.”

“Tapi siapa yang bisa menghentikan kemarau?” ungkap Raja La Patiroi bernada putus asa.

“Mohon maaf, Puang. Kita bukan ingin menghentikan kemarau, itu mustahil. Kita hanya mencari penyebab kemarau panjang ini. Ibarat penyakit, jika kita telah menemukan obatnya, penyakit itu akan sembuh. Hujan turun, rakyat kembali bisa bertani.”

Saoraja dilalap sepi bermenit-menit.  Entah pada detak jantung yang keberapa, Nenek Mallomo kembali bersuara.

“Beberapa tahun lalu, kita kedatangan tamu, Arung Matoa dari Kerajaan Wajo.”

“Saya pun masih mengingat itu, La Pagala. Tapi apa hubungannya dengan kemarau panjang?”

“Saat itu Arung Matoa bertanya padaku tentang suatu hal….”

Nenek Mallomo menghentikan kalimatnya demi melihat ekspresi wajah Raja La Patiroi. Seperti yang ada di pikiran Nenek Mallomo, raja pun teringat dengan   Arung Matoa Wajo yang saat itu menanyakan penyebab Kerajaan Sidenreng bisa subur, rakyat sejahtera, ternak berkembang biak tanpa penyakit, bahkan benih bukan bibit unggul pun jika itu ditanam di tanah Sidenreng, pasti akan tumbuh dengan baik.

“Saya masih ingat jawabanmu saat itu, La Pagala. Di negeri kami, kejujuran dan prasangka baik pada orang lain adalah keputusan tertinggi.”

“Benar, Puang! Itu berarti rakyat atau bahkan ada di antara kita penghuni saoraja ini yang tidak jujur.”

“Tidak jujur?”

“Iya, Puang! Dan tidak jujur itu bukan hanya berbohong. Mengambil barang orang lain tanpa minta izin, juga adalah ketidakjujuran.”

“Lalu apa yang harus kita perbuat sekarang?”

“Pengawal kerajaan harus turun ke tengah-tengah rakyat untuk mencari tahu siapa yang telah melakukan ketidakjujuran.”

“Jika pelakunya ditemukan…?” tanya Raja La Patiroi  mengakhiri kesangsiannya.

“Pelakunya harus dihukum mati. Dia telah membuat rakyat sengsara selama bertahun-tahun.”

****

Pengawal kerajaan  mendatangi seluruh kampung di pelosok kerajaan untuk mengumumkan penyebab kemarau panjang sekaligus  mencari orang-orang yang pernah berbuat tidak jujur. Berhari-hari pengumuman itu digaungkan, tak ada seorang pun yang mengaku telah berbuat tidak jujur. Semua penduduk merasa tak pernah berbohong apalagi mencuri ataupun berlaku tak adil pada orang lain. Bukan karena mereka takut dihukum tapi penduduk Kerajaan Sidenreng telah menjadikan sikap jujur sebagai karakter. Apalagi, mereka tahu akibatnya jika ada di antara mereka yang tidak jujur, selain hukuman mati, juga bencana untuk negeri seperti kemarau panjang yang kini mengeringkan semua mata air.   

****

Malam-malam kemarau adalah dingin yang menggigilkan. Di siang hari panas menyegat, di malam hari akan berganti menjadi dingin yang menusuk hingga ke sumsum. Seorang lelaki dengan sarung kumal yang  menyelimuti tubuhnya, duduk di teras rumah panggungnya yang berdinding anyaman bambu. Cahaya pelita yang biasa menemaninya, telah dipadamkannya dari tadi.  Dia tak ingin ada cahaya. Bahkan seandainya dia bisa membunuh semua jenis rayap malam yang sejak tadi bernyanyi, dia telah memusnahkan semuanya agar malam tak hanya identik dengan dingin dan gelap, tapi juga sepi.

Lelaki itu sejak tadi mengingat dan mengingat lagi pengumuman yang tadi siang disampaikan oleh pengawal kerajaan di seluruh pelosok kampung. Dia  merasa tak pernah berbuat tidak jujur ataupun mencuri. Dia sangat yakin bahwa hingga detik ini, dia tetap berpantang mencuri ataupun berbohong.  Tapi entah pada menit ke berapa lelaki itu merasa gelap semakin pekat, nyanyian rayap malam pun tak terdengar lagi olehnya, bahkan dingin yang hingga ke sumsum pun  berganti menjadi gerah berkeringat.

Dia teringat dengan sebuah kejadian beberapa tahun lalu ketika dia membajak sawah dan mata garunya patah. Mata garu itu lalu diperbaikinya dengan menggunakan kayu yang diambilnya dari kebun tetangganya. Dia merasa tak mencuri saat itu, karena tangkai kayu itu sebelumnya menjulur ke sawahnya, meskipun akhirnya sang pemilik menebangnya dan menyandarkannya di pohon. Dia baru sadar, tangkai kayu bitti yang diambilnya itu bersandar di pohon berarti ada orang yang sengaja menyandarkannya dan akan kembali lagi untuk mengambilnya.

“Saya telah mencuri!” ucap lelaki itu pada dirinya sendiri.

“Sayalah yang menjadi penyebab kemarau panjang ini  tak kunjung berhenti.” lanjutnya lagi.

Tubuhnya menggigil di antara keringat dingin yang sepertinya keluar dari setiap pori arinya. Dia diserang sesal. Tertekan oleh rasa bersalah. Bertahun-tahun  rakyat tak menikmati panen karena ulahnya. Hewan ternak banyak yang mati karena kelakuannya. Wajarlah jika balasan setimpal untuk sikap yang   tidak jujur adalah hukuman mati. Tapi dia tak gentar dengan kata hukuman mati. Lelaki itu akan ikhlas dengan hukuman apapun  karena  perbuatannya telah menyengsarakan   rakyat.

Besoknya ketika pengawal kerajaan datang lagi untuk mencari orang yang pernah berlaku tidak jujur, dia tak berpikir dua kali untuk mengakui semua perbuatannya.

“Saya telah mencuri. Mengambil sebatang kayu yang disandarkan di pohon. Sayalah yang membawa kemarau panjang itu datang dan tak kunjung berhenti.”

Kedua pengawal utusan istana menatap lelaki yang baru saja menyampaikan pengakuannya itu.

“Bukankah kamu putra La Pagala?” tanya salah seorang pengawal.

“Benar, saya anak dari La Pagala. Saya siap menjalani hukuman apapun meskipun saya putra dari penasihat kerajaan Sidenreng ini.”

Kedua pengawal kerajaan itu kemudian pergi. Keduanya pulang membawa cemas karena mereka ragu seorang Nenek Mallomo bersedia menghukum mati anaknya, dan jika itu tidak dilakukan, kemarau panjang semakin tak berujung.

***

Raja La Patiroi duduk di singgasananya dengan tatapan kosong jauh ke depan.  Penyebab kemarau panjang itu telah ditemukan. Selain laporan dari pengawal kerajaan, lelaki yang mencuri kayu pun telah datang menghadap  untuk memohon maaf dan menyatakan kesediannya diberi hukuman yang setimpal.

“Dia harus dihukum mati, Puang!”

Semua orang terdiam  mendengar kalimat untuk sang raja. Kalimat itu keluar dari mulut Nenek Mallomo. Beberapa pengawal yang berdiri di sisi kanan singgasana refleks saling tatap lalu memfokuskan lagi tatapan ke depan. Raja La Patiroi yang mendengar kalimat itu, mengalihkan tatapan kosongnya ke  mata Nenek Mallomo yang sedikit pun tak membalas tatapannya. Raja La Patiroi mencari air mata di mata teduh Nenek Mallomo yang bijak. Tapi tidak setetes pun, bahkan tak membuatnya berkaca-kaca.

“Kamu tega, La Pagala?”

“Mohon maaf, Puangku La Patiroi. Bukan persoalan tega atau tidak. Ini persoalan hukum adat. Ade’ temmakkeana’ temmakeappo[6].”

Saoraja ditelan sunyi. Tak ada suara kecuali suara hati masing-masing. Seikhlas apapun Nenek Mallomo menjatuhkan hukuman mati ke anaknya, dari balik dadanya tetaplah terdengar suara tangis yang tak seorang pun bisa mendengarnya. Dia harus berkeputusan. Memutuskan melukai dirinya sendiri karena jika itu tak dilakukannya, sama halnya dengan bunuh diri. Anaknya telah membuat seluruh negeri menderita, bahkan seisi negeri akan mati karenanya, jika dia tak dihukum mati.

“Tapi, La Pagala, anakmu memang mengaku mencuri sebatang kayu untuk memperbaiki mata garunya, tapi menurut pengakuannya juga, kayu yang dicurinya itu, sebelumnya adalah batang kayu yang menjulur ke tanah miliknya. Apa itu bisa disebut mencuri?”

Puangku La Patiroi, Sebelum pengakuannya di Saoraja ini, dia juga telah menemuiku dan menjelaskan kejadiannya. Kesalahan terbesarnya karena kayu yang diambilnya itu adalah batang kayu yang disandarkan di pohon. Itu berarti, batang kayu itu ada pemiliknya. Bukan kayu yang tergeletak.”

Raja La Patiroi terdiam. Tak bisa bersuara hingga Nenek Mallomo mengambil langkah ke depannya, menunduk takzim, lalu memilih melangkah mundur dari hadapannya hingga tangga Saoraja.

“Pengawal, siapkan  pasukan kerajaan  untuk mengeksekusi hukuman mati untuk anak La Pagala!” titah raja La Patiroi saat Nenek Mallomo telah menghilang dari depan singgasana.

Iyye’[7], Puang!”

****

Di bawah langit terik, di atas tanah Sidenreng yang telah retak, lelaki itu berserah diri dalam pejaman mata. Dia tahu dirinya akan dipancung entah di menit keberapa, tapi dalam pejaman matanya dia tak membayangkan algojo kerajaan dengan alat pancungnya. Baginya, inilah takdirnya. Tuhan telah menggariskan untuknya menjadi tumbal demi keselematan negeri. Sekali pun, dia tak pernah terpikirkan mencuri, batang kayu yang diambilnya benar-benar dianggapnya bisa  dia miliki karena sebelumnya batang  kayu itu menjulur ke sawahnya.  Tapi karena di mata Tuhan  itu adalah dosa, dikirimlah kemarau panjang itu untuk memberi teguran.

Keikhlasan menerima hukuman membuatnya hanya tersentak sekali ketika  pedang  menyentuh kulit lehernya, hingga kepala lelaki itu terpisah dari tubuh. Kepala itu seperti buah majah yang jatuh dari pohonnya lalu tergeletak begitu saja.  Darah mengalir deras membasahi tanah kering.  Sebelum darah mengering, angin datang membawa awan gelap. Langit cerah tiba-tiba pekat  berkilat. Guntur bergemuruh, lalu hujan deras turun menyatukan semua retak-retak tanah. Kemarau panjang menemukan ujung.  Rakyat berlari turun ke sawah menyusuri pematang serupa berpesta dengan tarian hujan. 

Tumbuhan menghijau kembali, ternak gemuk beranak-pinak lagi. Kerajaan Sidenreng kembali sejahtera dan berkeadilan seperti semula.

****

Ratusan tahun berlalu setelah kemarau panjang itu berakhir. Kerajaan Sidenreng yang kini telah menjadi Kabupaten Sidenreng Rappang, dikenal sebagai lumbung padi Sulawesi Selatan. Bahkan di Allakkuang, kampung yang dikenal sebagai kampung Nenek Mallomo, masih terdapat sumur  Citta yang mata airnya tak pernah kering  hingga kini. Nama anaknya yang  telah  dikorbankan memang tak tercatat dalam lontara tapi petuah-petuah Nenek Mallomo sebagai penasihat kerajaan tak bisa terhapus dari memori rakyat turun-temurun meskipun semua lontara yang mencatatnya kelak telah punah.

Saking legendarisnya seorang Nenek Mallomo, namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit di kota kabupaten. Bahkan beberapa warga beranggapan bahwa Nenek Mallomo sebenarnya adalah tomompo atau orang yang  tiba-tiba muncul di Kerajaan Sidenreng sebagai penggembala kerbau karena tak ada seorang pun yang tahu asal-usulnya.  Pernyataan bahwa Nenek Mallomo adalah penggembala diperkuat oleh nama-nama kampung yang ada di Sidenreng Rappang yakni, Lawa Tedong (kandang kerbau), Lainungan (tempat meminumkan gembala), Amparita/Ampiretta (Gembala), dan Allakkuang (tempat istirahat gembala). Namun dari  manapun  dan ke manapun silsilah keturunan Nenek Mallomo bergaris, dia telah melegenda sebagai cendikia, sebagai penasihat kerajaan yang saat itu berkedudukan sebagai hakim,  dan kisahnya benar-benar pernah ada. ****


[1] (Bugis)  Kerja keras tanpa kenal lelah akan mendatangkan rahmat Tuhan.  (Kalimat Nenek Mallomo yang paling terkenal bahkan tertulis dengan aksara Lontara di depan kantor Bupati Sidenreng Rappang).

[2] (Bugis) Kayu yang dipasang di pundak kerbau bajakan, untuk menarik tenggala atau garu.

[3] (Bugis) Panggilan untuk ningrat

[4] (Bugis) istana

[5] (Bugis) Tuhan yang Esa

[6] (Bugis) Adat tak mengenal anak dan cucu. Kalimat ini adalah salah satu kalimat Nenek Mallomo yang melegenda hingga sekarang di Kabupaten Sidenreng Rappang.

[7] (Bugis) Iya